SEJARAH PGRI SETELAH KEMERDEKAAN




SEJARAH PGRI SETELAH KEMERDEKAAN

PERIODE SEJARAH PGRI 2 (SETELAH KEMERDEKAAN).

1. PGRI pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949).

a)   Lahirnya PGRI Tanggal 25 November 1945

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) lahir pada saat berlangsungnya Kongres Pendidik Bangsa (Kongres I) pada tanggal 24-25 November 1945.Kongres I berlangsung tepat 100 hari setelah ProklamasiKemerdekaan.Kongres ini diselenggarakan di Sekolah Guru Putri (SGP) di Surakarta, Jawa Tengah, yang digerakkan dan dipimpin oleh para tokoh guru, Amin Singgih, RH.Koesnan dan kawan-kawan.Dari kongres itu lahirlah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai wadah perjuangan kaum guru turut serta menegakkan dan mempertahankan serta mengisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka.

b)   Kongres II PGRI di Surakarta 21-23 November 1946

Kongres II ini menghasilkan 3 tuntutan yang diajukan kepada pemerintah, yaitu:

Sistem pendidikan agar dilakukan atas dasar kepentingan nasional Gaji guru supaya jangan dihentikan

Diadakannya Undang-undang Pokok Pendidikan dan Undang-undang Pokok Perburuhan.

1


c)   Kongres III PGRI di Madiun 27-29 Februari 1948.

Kongres PGRI III diselenggarakan di tengah berkecamuknya perang kemerdekaan.Kongres yang berlangsung dalam suasana darurat menghasilkan keputusan :
Menghapus Sekolah Guru C (SGC), yaitu pendidikan guru 2 tahun setelah Sekolah

Rakyat.

Membentuk komisariat-komisariat daerah pada setiap karesidenan (kabupaten).

Menerbitkan majalah “Sasana Guru” (Suara Guru).

2.    PGRI pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).

a)        Kongres IV PGRI di Yogyakarta 26-28 Februari 1950. Kongres PGRI IV menghasilkan keputusan sebagai berikut :

1)        Mempersatukan guru-guru di seluruh tanah air dalam satu organisasi kesatuan, yaitu PGRI.

2)        Menyingkirkan segala rasa curiga dan semangat kedaerahan yang mengjangkiti para guru akibat pengaruh politik yang memecah belah wilayah RI.

3)        Mengeluarkan “Maklumat Persatuan” yang berisi seruan kepada seluruh masyarakat, khususnya guru untuk membantu menghilangkan suasana yang membahayakan antara golongan yang pro-Republik dan golongan yang kontra-Republik, serta menggalang persatuan dan kesatuan.

b)        Kongres V PGRI di Bandung 19 – 24 Desember 1950.

Kongres V diadakan 10 bulan setelah kongres IV di Yogyakarta, selain untuk menyongsong Lustrum I PGRI, juga untuk merayakan peleburan SGI/PGI ke dalam PGRI dan dapat dikatakan sebagai “Kongres Persatuan”. Kongres PGRI V ini menghasilkan keputusan, sebagai berikut :

1)        Menegaskan kembali Pancasila sebagai asas organisasi.

2)        Menugaskan kepada Pengurus Besar (PB) PGRI agar dalam waktu singkat melakukan segala usaha untuk menghilangkan perbedaan gaji antara golongan yang pro dan kontra republik.

3)        Melakukan konsolidasi organisasi dengan membentuk pengusu komisariat-komisariat daerah.

4)        PGRI menjadi anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia (SBSI).

c)         Kongres VI PGRI di Malang 24-30 November 1952

Dalam kongres ini PGRI telah mencapai banyak kemajuan yang pesat, hal ini mengakibatkan pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap organisasi PGRI, tetapi dipihak lain telah menarik perhatian dan keinginan sementara partai politik untuk menguasai PGRI guna kepentingan politiknya. Pada saat itu, surat kabar tertentu mulai mencoba mempengaruhi suasana kongres dengan jalan menjagokan calon-calonnya melalui berbagai cara, kadang-kadang dengan cara intrik dan fitnah. Tidak heran bila dalam susunan kepengurusan PB PGRI yang baru ini hampir 50% duduk orang atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).


2


d)       Kongres VII PGRI di Semarang 24 November s/d 1 Desember 1954. Kongres PGRI VII menghasilkan keputusan sebagai berikut:

1)        Di bidang hukum : Pernyataan mengenai Irian Barat, Pernyataan mengenai korupsi, Resolusi mengenai desentralisasi sekolah, Resolusi mengenai pemakaian keuangan oleh Kementrian PP dan K, dan Resolusi mengenai penyempurnaan cara kerja Kementrian PP dan K.

2)        Di bidang Pendidikan: Resolusi mengenai anggaran belanja PP dan K yang harus mencapai 25% dari seluruh anggaran belanja Negara, Resolusi mengenai UU Sekolah Rakyat dan UU Kewajiban Belajar, Resolusi mengenai film, lektur, gambar serta radio, dan Pembentukan Dewan Bahasa Indonesia.

3)        Di bidang perburuhan: Resolusi tentang UU Pokok Kepegawaian , Pelaksanaan Peraturan Gaji Pegawai Baru, Tunjangan khusus bagi pegawai yang bertugas di daerah yang tidak aman, ongkos perjalanan cuti besar, Guru SR dinyatakan sebagai pegawai negeri tetap, Penyelesaian kepegawaian.

4)        Di bidang organisasi : Pernyataan PGRI keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisasi Non Vaksentral.

e)         Kongres VIII PGRI di Bandung 1956.

Suasana kongres ini mulanya sangat meriah, namun sewaktu diadakan pemilihan Ketua Umum PB PGRI keadaan menjadi tegang.Pihak Soebandri menambahkan kartu pemilihan (kartu palsu) sehingga pemilihan tersebut di batalkan dan diulang kembali menggunakan kartu yang baru.Kongres PGRI VIII ini juga menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Pendidikan.

f)         Kongres IX PGRI 31 Oktober – 4 November di Surabaya 1959.

Pada kongres IX di Surabaya bulan oktober /November 1959, soebandri dkk melancarkan politik adudomba diantara para kongres, terutama pada waktu pemilihan Ketua Umum.Usaha tersebut tidak berhasil, ME.Sugiadinata terpilih lagi sebagai Ketua Umum BP PGRI.

3. PGRI pada Masa Orde Lama / DemokrasiTerpimpin (1959-1965).

a)        Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI.

1)        Kongres PGRI X di Jakarta (Glora Bung-Karno) Oktober 1962

Periode tahun 1962-1965 kongres ke X di selenggarakan dan merupakan episode yang sangat pahit bagi PGRI.Dalam masa ini lahirlah PGRI Non-Vaksentral yang merupakan perpecahan dalam tubuh PGRI. Perpecahan pada masa ini merupakan perpecahan yang lebih hebat dibandingkan dengan pada periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu bukan demi kepentingan guru atau profesi guru, melainkan karena ambisi politik dari luar dengan dalih (pembentukan kekuatan dan penggunaan kekuatan).






3


b)   Pemecatan Massal Pejabat Departemen PP&K (1964)

Dikarenakan Keputusan Presiden No. 187/1964 dan No. 188/1964 tanggal 4 Agustus 1964 yang diambil atas usul Menteri PP&K tanggal 29 Juli 1964 No. 17985/S tentang Reorganisasi Departemen PP&Kyang mengubah jumlah Pembantu Menteri PP&K dari 3 menjadi 2 orang. Hal ini membuat gelisah sejumlah pejabat di lingkungan.

Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat berkenaan dengan isi Moral Pendidikan Pancawardhana, akhirnya Presiden membantuk sendiri panitia dengan nama “Panitia Negara Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana”. Panitia ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang “Pemecatan Massal”, ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah.

c)    Kedudukan PGRI Pasca-Peristiwa G30 S/PKI

Mengenai kedudukan PGRI sendiri, sejak kongres VII di Semarang tahun 1954 ditegaskan, bahwa PGRI adalah organisasi Non-Vaksentral yang kemudian dipakai kembali oleh PKI dengan arti yang dimanipulasi ketika mendirikan PGRI Non-Vaksenstral tahun 1964 yang berbeda-beda dengan PGRI-Kongres.

d)   Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI.

PGRI Non-Vaksentral dibentuk dimana-mana, kadang-kadang di tempat-tempat tertentu hanya di atas kertas sementara anggota-anggotanya pun kadang-kadang bukan guru, melainkan Pegawai Jawatan Kereta Api, buruh perkebunan dan lain-lain.

4. PGRI Pada Masa Orde Baru (1967-1998).

a)    Kesatuan aksi guru Indonesia (KAGI).

Para guru-guru membentuk Kesatuan Aksi Guru Indonesia(KAGI) pada tanggal 2 februari 1966.KAGI pada mulanya terbentuk dijakarta raya dan jawa barat, kemudian berturut-turut terbentuk KAGI di wilayah lainnya.

Tugas Utama KAGI adalah membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari unsur-unsur PKI dan orde lama.Menyatukan semua guru dalam organisasi guru yaitu PGRI.Memperjuangkan agar PGRI menjadi organisasi guru yang tidak hanya bersifat unotalistik tetapi juga independen dan non partai politik.

b)   Kongres XI 5-20 Maret 1967 di Bandung

Dalam Kongres ini terasa sekali peralihan zaman Orde Lama ke zaman Orde Baru. Antara lain masih terlihat sisa-sisa kekuatan Orde Lama yang mencoba menguasai kembali kongres dengan cara menolak PGRI untuk masuk kedalam Sekber Golkar dan memojokan M.E. Subandinata dkk. Agar tiak terpilih dalam PB.PGRI.

c)    Konsolidasi organisasi pada awal orde baru.

Konsolodasi organisasi PGRI dilakukan kedaerah-daerah dan cabang-cabang, dengan prioritas ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.Pembenahan pada kedua daerah tersebut tidak saja akibat kuatnya pengaruh PGRI Non-vaksentral/PKI sebelumnya, tetapi juga menyangkut masalah dualisme didalam kepemimpinan nasional. Ini bermula


4


dari zaman Orde Lama ketika politik menjadi panglima, sehingga banyak guru dan pengurus PGRI memilih dan berlindung dibawah partai-partai politik yang berkuasa pada waktu itu.

d)       Kongres ke XII 29 Juni-4 Juli 1970 di Bandung.

Adapun keputusan-keputusan penting dari kongres ini adalah sebagai berikut:

1)        Perubahan struktur dan basis-basis organisasi PGRI.

2)        Administrasi organisasi disederhanakan dan diseragamkan untuk seluruh Indonesia.

3)        Lambang PGRI dan Mars PGRI dilampirkan dalam buku AD/ART PGRI.

e)        Kongres ke XIII 21-25 November 1973 di Jakarta.

Pada kongres ini menetapkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang organisasi serikat pekerja menjadi organisasi profesi guru ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia, perubahan lambang dan panji organisasi PGRI yang sesuai dengan organisasi profesi guru dan adanya Dewan Pembina PGRI mengenai arti lambang PGRI.

f)         Kongres ke XIV 26-30 Juni 1979 di Jakarta.

Kongres XIV di Jakarta menghasilkan salah satu keputusan penting yaitu mengenai pendirian Wisma Guru. Untuk mewujudkannya mulai Januari 1980 setiap anggota PGRI dihimbau untuk menyumbang Rp. 1000,-. Direncanakan Wisma Guru ini akan sekaligus menjadi Kantor PB PGRI yang dilengkapi dengan ruang pertemuan perpustakaan kamar pemondokan / penginapan dan sebagainya.

g)   Kongres ke XV 16-21 Juli 1984 di Jakarta.

Kongres berlangsung di Jakarta tanggal 16-21 Juli 1984, Kongres ini menggariskan pokok-pokok PGRI untuk kurun waktu lima tahun mendatang (1984-1989) yang meliputi: ruang lingup pembinaan dan pengembangan organisasi PGRI, tanggunb jawab dan peran PGRI dalam menyukseskan Sidang Umum MPR 1983, Repelita IV dan Pancakrida Kabinet Pembangunan V.

h)        Kongres ke XVI 3-8 Juli 1989 di Jakarta.

Susunan PB-PGRI Masa Bakti XVI (1989-1994) sebagai berikut : Ketua Umum : Basyuni Suramiharja.

Ketua : Drs.I. Gusti Agung Gde Oka.

Ketua : Dr. Anwar Jasin . M.Ed.

Ketua : Dra. Mien.s. Warnaen.

Ketua : H.R. Taman Sastra Dikarna.

Ketua : Taruna .SH.

Ketua : Drs. Soetrisno.

Sekretaris Jenderal : Drs. WDF Rindorindo.

Wakil Sekretaris Jenderal : Drs.H. Sigit Poernomo.

Wakil Sekretaris Jenderal : Drs.H. Samad Thaha.

5


Bendahara : Drs. HKA Mooyoto.

Wakil Bendahara : Drs. Udjat S. Suwarno.

Wakil Bendahara : Ny. Martha Mijardi.

i)          Kongres ke XVII 3-8 Juli 1994 di Jakarta.

Pertama kali Kongres PGRI XVII menetapkan Dewan Pembina menjadi Dewan Penasehat dan tidak ada lagi mentri yang menjadi anggota Dewan Penasehat.

j)          Kongres XVIII 25-28 November 1998 di Bandung.

Kongres PGRI XVIII diselenggarakan pada tanggal 25-28 November 1998 di Bandung.Pada Kongres ini kelihatan kuatnya pengaruh reformasi dalam pemilihan susunan pengurus PB-PGRI.Kalau pada masa lampau ketua umum selalu dipilih secara aklamasi kini mulai ada perarturan antara kedua calon ketua umum, sekretaris bidang diganti menjadi ketua departemen.

5. PGRI pada Masa Reformasi (1999-sekarang).

a)    Kongres XIX 8-12 juli 2003 di Semarang.

PGRI mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyediakan sarana dan dana pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di luar gaji tenaga pendidikan dan pendidikan kedinasan, paling lambat tahun 2005.

PGRI juga mendesak pemerintah untuk menindaklanjuti Undang-Undang (UU) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan memberikan jaminan konstitusional bagi terselenggaranya pendidikan nasional dalam bentuk antara lain peningkatan akses bagi masyarakat untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan biaya yang relatif murah.

D.      Daftar Pustaka





6







































































7

Komentar