Sejarah PGRI 1 (Sebelum Kemerdekaan)



Sejarah PGRI 1 (Sebelum Kemerdekaan)

1.        Keadaan Pendidikan di Indonesia pada Masa Penjajahan Belanda
Keadaan pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sangat memprihatinkan baik dari segi pendidikan, guru, dan sekolahnya.
2.             Pendidikan dan Sekolah
Pada jaman Protugis dan spanyol mulai didirikan sekolah-sekolah model baru, berlainan dengan sekolah-sekolah pesantren. Di sekolah ini tidak hanya diajarkan tentang agama namun juga diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah-sekolah ini hanya berada di kepulauan Maluku sampai kedatangan VOC di Indonesia. VOC berkuasa di Indonesia pada tahun 1600-1800. VOC ini juga mengadakan sekolah-sekolah di daerah kekuasaan mereka seperti kepulauan Maluku, di beberapa pulau di kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), di Batavia (Jakarta), dan di Semarang.
Sekolah-sekolah Belanda ini diadakan 2 jam pada waktu pagi dan 2 jam pada waktu sore hari. Pada mulanya bahasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Belanda, akan tetapi karena hasilnya tidak memuaskan maka diganti dengan bahasa Melayu. Anak-anak tidak teratur didalam bersekolah karena mereka harus membantu kedua orang tuanya. Gurunya berkebangsaan Belanda dan kebanyakan tidak mendapatkan latihan sebagai guru. Pelajaran yang diberikan hanya terdiri dari agama, menyanyi, membaca, menulis dan berhitung. Orang-orang yang sudah tamat sekolah harus berkumpul dua kali dalam seminggu untuk kelas-kelas lanjutan.
Pada tahun 1684 diumumkan Undang-Undang Sekolah pertama, yang isinya antara lain :
Ø  Untuk mendirikan sekolah harus seijin pemerintah
Ø  Jam pelajaran sekolah jam 08.00-11.00dan jam 14.00-17.00
Ø  Dilarang adanya pelajaran campuranantara anak laki-laki dan perempuan
Ø  Hari libur dan uang sekolah diatur pemerintah
Ø  Sekolah-sekolah dimonitoring 2 kalisetahun
Pada tahun 1778 dikeluarkan Undang-Undang yang baru, yang isinya antara lain :
Ø  Tiap-tiap sekolah dibagi dalam 3 kelas
Ø  Di kelas satu diajarkan membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dan agama
Pada tahun 1800 VOC dibubarkan, Indonesia dijajah secara langsung oleh pemerintahan Belanda. Dalam bidang pendidikan hampir sama dengan VOC hanya sekarang pendidikan diperbanyak akibat pengaruh dari Liberalisme. Gubernur Jendral Daendels (tahun 1808-1811) memerintahkan kepada para Bupati di Jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi.Tahun 1830 Pemerintah Belanda memerintahkan kepada para Bupati dan Residen untuk mendirikan sekolah pribumi dengan mata pelajaran budi pekerti, membaca, dan menulis.Tahun 1850 pemerintah mendirikan Sekolah Dasar Missie (Zending) di Maluku, Manado, Timor, Jawa, dan Kalimantan. Tahun 1852 didirikan sekolah guru. Tahun 1867 didirikan Depertemen Pendidikan yang bertanggung jawab terhadap permasalahan pendidikan.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda semakin bertambah jumlahnya dan berjenis-jenis. Hal ini memang disengaja oleh pemerintah Belanda dalam rangka melaksanakan politik devide et empera dalam bidang pendidikan di Indonesia.Sampai dengan tahun 1937 sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintahan Belanda adalah :
1)         Sekolah Desa
Sekolah desa ini disesuaikan dengan kehidupan desa. Lama pelajaran 3 tahun, selama dua setengah jam sehari. Di sini diajarkan bahasa daerah, berhitung, yang berguna untuk kehidupan sehari-hari, membaca menulis dengan huruf daerah dahulu dan kemudian huruf latin. Jumlah sekolah desa tahun 1921 ada 8000 buah dengan murid 543.000 orang.
2)         Sekolah Kelas Dua
Sekolah Kelas Dua untuk umum. Waktu Sekolah Desa diadakan, beberapa Sekolah Kelas Dua ini dijadikan “Standaard School” atau “Vervolgschool”, yaitu sekolah sambungan bagi sekumpulan Sekolah Desa yang berdekatan, dengan maksud supaya pengajaran sama dengan pengajaran di Sekolah Kelas Dua biasa. Lama pelajaran 2 tahun sesudah Sekolah Desa. Sekolah Kelas Dua pada mulanya terdiri dari 3 kelas, kemudian ditambah menjadi 4 kelas dan akhirnya menjadi 5 kelas. Di sekolah ini diajarkan bahasa Melayu. Tamatannya hanya dapat meneruskan ke Sekolah Normal (untuk calon guru Sekolah Kelas Dua) dan Sekolah Pertukangan (Ambachtschool).
3)        Schakelschool atau Sekolah Penghubung
Sekolah ini, selama 5 tahun mengajarkan murid-murid Sekolah Kelas Dua yang pandai dari kelas 3, 4 atau 5 sehingga mencapai kepandaian setaraf dengan kepandaian tamatan HIS. Tamatan Schakelschool ini dapat meneruskan pelajaran ke MULO.
4)         Hollands Inlandse School (HIS)
Lama pelajaran 7 tahun. Pada sekolah ini diajarkan 3 bahasa, yaitu bahasa Daerah, Bahasa Melayu, dan Bahasa Belanda. Sekolah ini merupakan dasar bagi anak Indonesia yang ingin melanjutkan pelajarannya ke MULO, AMS dan Sekolah Tinggi. Yang dapat diterima di HIS adalah anak-anak bangsawan atau pegawai negeri. Pada tahun 1921 jumlah sekolah ini ada 146 buah milik negeri dan 64 buah sekolah swasta yang mendapat subsidi, jumlah murid seluruhnya ada 400.000 orang.
3.        Nasib Guru pada Masa Hindia Belanda
              Di bidang pendidikan diadakan bermacam-macam sekolah dasar, masing-masing untuk golongan tertentu. Umpama sekolah desa untuk golongan orang desa, sekolah dasar angka II untuk rakyat biasa yang ada di kota, sekolah dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak nigrat atau anak pegawai pemerintahan Hindia Belanda.
              Guru-gurunyabermacam-macam sekolah guru, seperti Sekolah Guru Desa, Normaalschool (NS), Kweekschool (KS), Hogere Kweekschool (HKS), Hollands Inlandce Kweekschool (HIK), Europase Kweekschool (EKS), Indische Hoofdacte dan sebagaimananya. Guru-guru ini mempunyai serikat sekerja masing-masing menurut ijasahnya.
              Perbedaan dalam pengajian dan kedudukan tersebut tidak jarang menimbulkan pertentangan antara golongan guru yang bermacam-macam itu, hal mana yang tidak menguntungkan dunia pendidikan.Oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sengaja diciptakan golongan tinggi dan golongan rendah yang sangat mempengaruhi pergaulan antara golongan-golongan itu. Mereka itu pada umumnya tidak mau saling mengenal. Kalau jarak antara golongan tinggi dan golongan rendah sudah begitu jauh, maka lebih besar lagi jarak antara rakyat dengan pembesar-pembesar.
              Tetapi hal yang demikian ini lama-lama dapat dimengerti oleh rakyat berkat keberanian para pemimpin perjuangan. Lambat laun timbullah rasa kecewa pada rakyat terhadap pemerintah colonial yang diskrimintif dan memecah belah itu, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung.
4.      Perjuangan Guru Pada masa Penjajahan Belanda
              Penjajahan Belanda selama tiga setengah abad mengakibatkan penderitaan lahir maupun batin bagi bangse Indonesia. Semenjak penjajah menginjakkan kakinya dan mencekamkan kuku penjajahnya di bumi tanah air kita ini, timbullah gejolak perjuangan bangsa kita menentang panjajah. Mulai dari perjuangan fisik berkuah darah yang dilakukan oleh bangsa kita di bawah pimpinan : Teuku Oemar, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pattimura, dan lain-lain, sampai pada zaman perjuangan politik pada awal abad ke-20.
              Nama-nama Kartini, Dr. Sutomo, Raden Ngabehi Husodo, Ciptomangunkusumo, dan sederetan nama lain lagi, merupakan pecetus perjuangan melalui ideologi pendidikan untuk memperjuangkan nasib bangsa kita yang sangat sengsara di tapak kaum penjajah. Lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 merupakan obor perjuangan dikalangan kaum terpelajar dan kaum priyayi yang secara sadar merasa terpanggil oleh jeritan nasib bangsanya yang menyedihkan.
              Pada tahun 1908 itu juga berdiri organisasi buruh Vereniging van Spoor dan Tramweg Personeel in Nederlands Indie (VSTP) yakni satu organisasi buruh Tram dan Kereta Api, yang pada tahun 1923 mengadakan mogok kerja, membuat kalang kabutnya pemerintahan Belanda.
              Pada tahun 1912 berdiri sebuah organisasi agama, Muhammadiyah, di Yogyakarta. Diantara progamnya termasuk progam pendidikan.Suatu bangsa tidak akan merdeka tanpa adanya pendidikan. Belanda memang sudah mendirikan sekolah di mana-mana, tetapi sekolah itu hanya sekedar mencukupi pegawai yang diperlukan di segala instasi dan perusahaan kaum penjajah. Oleh karena itu, Belanda tidak banyak mendirikan sekolah. Akibatnya selama 350 tahun Belanda menjajah Indonesia dengan sensus penduduk tahun 1930 bangsa Indonesia yang mengerti tulis baca hanya 5% saja.Berkembangnya organisasi Muhammadiyah ini tumbuh pula di serat tanah air kita sekolah-sekolah yang berpengantar bahasa Melayu dan sekolah-sekolah yang berbahasa Belanda.
              Pada tahun 1912 para guru berhasil membentuk organisasi guru yang bersifat Unitaris yaitu Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHD) yang anggotanya terdiri dari guru-guru tanpa memandang perbedaan ijasah, status, tempat bekerja, dan agama atau kepercayaan.Salah satu kegiatan PGHD yang paling menonjol dalam bidang sosial adalah didirikannya Perseroan Asuransi Bumi Putera langsung dibawah PGHD pimpinan Karto Hadi Subroto, yang bertujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan guru sebagai anggota. Dalam perkembangannya perseroan ini akhirnya lepas dari PGHD. Melihat terbentuknya persatuan guru yang tergabung dalam PGHD, pemerintah Belanda berusaha untuk menghancurkannya dengan mendirikan berbagai jenis organisasi. Akibatnya PGHD pecah menjadi organisasi-organisasi yang berdasarkan ijasah, tempat pekerjaan, agama dan lain-lain.
              Sebagai usaha untuk memperjuangkan nasib anggotanya, PGHD pada tahun 1930-an mencoba menggabungkan diri pada Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN). PVPN merupakan perpusatan serikat sekerja pegawai negeri yang sejek pendiriannya berada di luar pengaruh partai-partai politik dan PVNP sendiri tidak mempunyai tujuan politik. Masuknya PGHD menjadi anggota PVNP diharapkan dapat memperjuangkan nasib guru. Beberapa usaha PVNP itu antara lain pada bulan Desember 1931 mengadakan rapat disertai oleh perkumpulan politik Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Kaum Betawi, dan Jong Celebes, untuk memprotes rancangan pemerintah yang hendak mengadkan penghematan besar-besaran di lapangan pengajaran, yang berakibat tidak saja guru-guru banyak kehilangan pekerjaan tetapi juga menghambat kamajuan rakyat.
Jumlah anggota   PVPN pada 1 Desember 1939 ada 41.521 orang. Persatuan Guru Indonesia (PGI) terjadi dari greopsdond :
·         Hogere Kweekschoolbond (HKSB)
·         Oud Kweekscholierenbond (OKSB)
·         Persatuan Normaalschool (PNS)
·         Persatuan guru Ambachtsschool (PGAS)
·         Volksoderwijzersbond (VOB)
              Perkembangan berikutnya PGHD berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1933 sebagai akibat dari dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai sarekat sekerja pegawai negeri. Bertukarnya nama Hindia Belanda dengan nama Indonesia merupakan geledek di siang bolong bagi penjajah. Karena nama Indonesia termasuk istilah yang paling tak disenagi oleh penjajah Belanda, tetapi paling dirindukan dan diidam-idamkan setiap putera Indonesia, termasuk para guru.Baik juga dicatat di sini bahwa di samping PGI adalagi berbagai bond yang bercorak agama, bangsa dan sebagainya, seperti : Nederlands Indische Onderwijsgenootschap (NIOG) yang beranggotakan semua guru tanpa membedakan golongan agama, Christelijke Onderwijs Vereniging (COV), Khatolieke Onderwijsbond (KOB), Vereniging Van muloleerkrachten dan lain-lain.
              Pada kongres ke-23  di Surabaya tanggal 2-6 Januari 1934, PGI yang telah mempunyai 20.000 anggota membicarakan kedudukan para guru berhubungan dengan krisis dan penghematan gaji pegawai negeri.Perjuangan PGI itu tidak seluruhnya berjalan mulus, Persatuan Guru Bantu (PGB) pada bulan Juli 1934 mengundurkan diri dari PGI karena dianggap kurang tegas didalam mempertahankan kepentingan golongan Guru Bantu. PGB menyalahkan sikap PGI dengan diberlakukannya peraturan gaji baru oleh pemerintahan yang sangat menjatuhkan kedudukan dan gajinya. Meskipun PGB mengundurkan diri, perkumpulan guru-guru lainnya tetap bersatu dalam PGI., antara lain PGAS, VOB, Oud Kweekschool Bond (OKSB), PNS, dan HKSB.
              Kongres PGI ke-25 tanggal 25-29 Novemper 1936 di Madiun, isinya menentang maksud pemerintah untuk memindahkan urusan pengajaran dari tangan pemerintahan pusat ke tangan pemerintahan daerah, berhubung kurang perlengkapan dan terbatasnya keuangan pemerintah daerah, dan dikhawatirkan dapat berakibat pada kemunduran pengajaran. Di dalam kongres PGI ke-26 yang diadakan pada bulan Nopember 1937 di Bandung bertepatan dengan peringatan dua puluh lima tahun berdirinya PGI, dirumuskan supaya diadakan wajib belajar. Selanjutnya di dalam kongres PGI tahun 1938 yang diselenggarakan di Malang, diputuskan antara lain perlunya perbaikan gaji para guru dan menuntuk agar pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan ke daerah harus didahului dengan perbaikan keuangan daerah.
              Perang dunia pecah. Tahun 1940 negeri Belanda diduduki Jerman. Pada tahun 1941 semua guru-guru laki-laki (Belanda)ditugaskan masuk milisi. Untuk mengisi kekosongan guru, beberapa sekolah sejenis digabung. Kekosongan itu diisi oleh guru-guru Indonesia.Pada pemerintahan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup,. Secara otomatis segala pendidikan menjadi beku.
5.      Keadaan Pendidikan pada Masa Penjajahan Jepang
              Pemerintahan tentara pendudukan Jepang melarang pengunaan bahasa Belanda dan Ingrris. Diperintahkannya agar disampaing bahasa resmi di sekolah-sekolah dan bahasa Jepang dipelajari dan diajarkan juga.Lagu Indonesia Raya diperbolehkan disamping lagu Kimigayo. Akan tetapi semua perkumpulan atau perserikatan dilarang. Jadi PGI pun tak berdaya. Kebudayaan Indonesia dihormati mereka karena Jepang menganggap dirinya saudara tua pemimpin Asia.Sejak itu sekolah-sekolah diberi nama Indonesia dan Jepang. Sekolah Dasar diberi nama “Syo Gakko”, sekolah Menengah “Cu Gakko”, dan Sekolah Tinggi “Dai Gakko”.
              Bulan September 1942 Pemerintahan Jepang mulai membuka Sekolah Menengah Pertama dan Atas, termasuk sekolah-sekolah kejuruan termasuk seperti “Sihan Gakko” (Sekolah Guru), “Kasei Jo Gakko” (Sekolah Kepandaian Putri) dan lain-lain.Guru-guru Indonesia dengan semangat kebangsaan masih tetap bekerja di bawah pemerintahan Belanda. Di Ibu Kota Indonesia Jakarta, Amin Singgih mendirikan perserikatan dengan nama “GURU” bersama kawan-kawannya untuk memberikan teladan nyata bahwa guru-guru Indonesia itu tetap memupuk rasa kesatuan Nasional. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1943. Dalam tahun 1943 juga Sdr. Gustam Effendy, Adnam dan Hamid mendirikan perkumpulan kesenian yang bernama “kesta” (Kesenian kita). Wadah ini banyak mengumpulkan uang menyokong Pemerintah militer Jepang. Akan tetapi pada awal revolusi Indonesia dalam bulan Agustus sampai dengan Desember 1945 banyaklah “kesta”ini mengumpulkan uang yang disumbangkan kepada Fonds Kemerdekaan Inonesia di kota Palembang. Pemuda-pemuda Indonesia pada waktu revolusi kemerdekaan 1945 itu membentuk “BKR” dan pelbagi sejenis organisasi perjuangan untuk mempertahankan kemerdakaan RI. Adapun BKR itu ialah singkatan dari Badan Keamanan Rakyat yang menjadi pokok pangkal “Tentara Nasional Indonesia” (TNI).
Pemerintah militer Jepang ingin agar rakyat Indonesia bersatu padu untuk membantu mereka menghadapi  tentara Sekutu. Oleh sebab itu semua daya upaya dilakukannya untuk mengambil hati bangsa Indonesia. Mereka mengatakan bahwa merekan dating tidak untuk menjajah sesama bangsa Asia, tetapi melepaskan belenggu penjajah orang kulit putih. Mereka pemimpin Asia, cahaya Asia dan kekuatan Asia (Gerakan 3 A).

Tentara pembantu yang dinamai “Heiho”. Barisan pemuda “Seinedan”, perkumpulan wanita “ Fujikai”. Organisasi rakyat dibentuk dan dikerahkan dengan maksud untuk melatih rakyat membantu mereka. Semuanya dilakukan dengan disiplin militer yang sangat keras. Semuanya itu minta pengorbanan jiwa dan harta yang sangat hebat dari bangsa Indonesia. Makanan, pakaian, dan lain-lain keprluan hidup rakyat dikuasai oleh militer dan dibagi-bagikan.
Penderitaan rakyat tidak terkira lagi. Akan tetapi di dalam derita dan duka nestapa ini ada juga hikmahnya bagi bangsa kita. Orang-orang Jepang itu mengajarkan pada kita untuk bekerja dengan cekatan dan terampil di segala bidang. Rasa harga diri bangsa Timur dibangungkannya. Mereka memerlukan tenaga pembantu untuk membangun cita-cita mereka yang sangat besar yaitu, untuk memenangkan “Peperangan Asia Timur Raya”(Dai Toa Sensoo). Untuk memperkuat pertahanan di garis belakang, bangsa kita dilatih di bidang pertanian dan perindustrian. Pabrik barang-barang keperlan sehari-hari dibangun mereka, seperti pabrik tekstil, pabrik paku, galangan kapas dan lain-lain. Perkebunan kapas, kepala sawit, jarak dan tumbuh-tumbuhan lain untuk makanan diwajibkan bagi rakyat. Untuk memperkuat garis depan bangsa Indonesia dilatih di bidang kemiliteran dan membuat persenjataan sendiri. Untuk menjabat opsir (perwira) diadakan sekolah atau pusat-pusat latihan kemiliteran seperti “Gyugun” di Sumatra dan “Peta” ( Pertahanan Tanah Air) di Jawa. Semua ini pada jaman penjajahan Belanda adalah tabu, karena Belanda takut akan akibatnya bagi diri mereka sendiri. Bagi orang Jepang tidak demikian. Mereka membangkitkan semangat keberanian bangsa Asia (Timur) dengan tujuan menjunjung falsafah turunan Amaterasu O’Mikami ialah “Hakkoo Iciu), yang maksudnya ialah, bahwa semua bangsa disegenap kolong langit di muka bumu ini haruslah bersatu di bawah pimpinan bangsa Dai Nippon. Sebagaiman yang tejadi, sejarah telah membuktikan, bahwa hasil pelajaran mereka ini akhirnya dipakai oleh bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaannya sendiri dari tangan penjajah.
Jenderal-jenderal kita seperti Soedirman, A. H. Nasution, Alamsyah, Rya Kudu dan lain-lain, adalah hasil pendidikan militer Jepang. Orang-orang Jepang itu tahu bahwa sumber kemajuan dan kekuatan suatu bagsa adalah pendidikan. Pendidikan itu perlu untuk kebangunan dan pembangunan suatu bangsa. Pendidikan yang baik haruslah dilahirkan oleh guru-guru yang baik pula. Orang Jepang sangat menghormati kaum guru. Guru dan dokter mendapat panggilan kehormatan dari oaring Jepang dengan sebutan “Sensei” yang berarti “mula-mula hidup” atau yang dahulu sekali hidup (orang yang tertua).
Untuk mendidik calon guru yang baik, dibukalah sekolah guru yang dinamai ”Sihan Gatakaoo”, pada tahun 1944 dibuka pula di ibu kota pulau Sumatra (Bukit Tinggi) sebuah sekolah guru utama yang bernama “Joo Kyuu Sihan Gakko”. Yang diambil menjadi muridnya guru-guru yang terbaik daerah-daerah Keresidenan (Syuu). Jumlahnya terbatas sekali. Untuk angkatan pertama dari Lampung Syuu diterima diantaranya M. Nur Asyikin, Raja Sangun, dari Palembang, Syuu Madian, Gustam Effendy. Waktu itu juga di daerah Batu Sangkar dibuka sekolah “Joo Kyuu Kanri Gakko” yaitru sekolah untuk pamong praja (camat atau asisten wedana) yang terpilih. Para gakusei (mahasiswa) dari Joo Kyuu Sihan Gakko waktu itu diberi berpakaian seragam lengkap dengan celana panjang, sedangkan sekolah-sekolah lainnya berseragam celana pendek semuanya.

Waktu “Gunseikang” (gubernur) dan orang-orang besar dari Tokyo mengunjungi sekolah-sekolah utama itu, maka Joo Kyuu Sihan Gakkoo-lah pertama kalinyan dikujungi mereka. Ini membuktikan tingginya pandangan bangsa Jepang terhadap kaum guru.
Sejarah telah membuktikan, bahwa bangsa Jepang yang kemajuannya memukau dunia ini, dahulu asalnya dari “Meijirestorasi” yang memajukan pendidikan bangsa Jepang lebih dahulu dari bidang manapun.
6.      Perjuangan Guru pada Masa Penjajahan Jepang
Jepang mulai menguasai dan menjajah Indonesia sejak belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati (Bandung) tanggal 8 Maret 1942. Sejak saat itulah penjajahan bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia berakhir untuk selama-lamanya. Lepas dari bangsa Belanda, Indonesia jatuh ke tanggan Jepang  selama tiga setengah tahun (Maret 1942 – Agustus 1945) Indonesia dijajah Jepang.
Bagi Jepang, guru dipandang sebagai orang yang sangat dihormati. Sang guru mendapat kehormatan dengan julukan Sensei, yang mempunyai kedudukan sosial yang sangat dihormati. Begitu pula oleh murid-muridnya di sekolah yang berbeda dengan sekarang (kurang penghargaan). Jepang mungkin sangat berterima kasih kepada guru yang telah berjuang mempropaganda misinya pada masyarakat luas, khususnya pada siswa. siswa sendiri begitu tundu, sopan, hormat dan segan pada guru sehingga kedudukan guru pada waktu itu terpandang secara jabatan ketimbang moral.
Berbeda dengan masa panjajahan Hindia Belanda dimana guru-guru membentuk wadah organisasi PGHD atau PGI sebagai wadah perjuangannya, pada zaman penjajahan Jepang dapat dikatakan tidak ada wadah yang menaunginya. Organisasi guru secara khusus tidak dapat hidup seperti juga partai-partai atau organisasi masa Indonesia selain yang bukan ciptaan Jepang. Hal itu diakibatkan pemerintah Jepang telah mengeluarkan Undang-undang yang melarang adanya pergerakan politik di Indonesia.
Sikap para pejuang bangsa Indonesia termasuk para guru, dalam bentuk luarnya tidak berbuat apa-apa kecuali mengikuti apa yang dikehendaki oleh Jepang. Tetapi secara illegal secara cermat memanfaatkan setiap ada kesempatan untuk malawan Jepang. Jadi para tokoh-tokoh perjuangan termasuk para guru cara berjuangnya yaitu secara legal dan illegal.
Secara legal menempuh bekerja sama dengan Jepang yaitu menduduki lambaga-lembaga pemerintahan dan menjadi guru di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Jepang, serta menduduki organisasi-organisasi buatan Jepang. Sedangkan yang bergerak secara illegal berjuang menurut caranya sendiri-sendiri mereka bergerak lebih berhati-hati agar tidak diketahui oleh Jepang.
Kalau diikuti perjuangan pada saat itu maka perjuangan guru sangat berat karena harus bermuka dua. Apabila ketahuan sangsinya sangat berat. Meskipun demikian para guru tidak takut, pernah di Jakarta dibentuk perserikatan guru dengan nama “GURU” yang dipimpin oleh Amir Singgih organisasi guru yang sudah ada (PGI) dibekukan oleh Jepang sehingga tidak dapat bergerak. Para guru terpaksa mencari jalan lain untuk dapat berjuang yaitu masuk dalam organisasi yang di buat Jepang. Misalnya menjadi anggota dari Gerakan 3A, Putera, Peta, anggota Keibondan (Pembantu Keamanan Kampung), Seinendan (organisasi pemuda yang mendapat latihan militer) serta anggota Fujikai (organisasi guru wanita). Organisasi-organisasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia termasuk para guru, para pendidik unuk mempercepat timbulnya kesadaran nasional.
Perjuangan para guru dan semua rakyat indonesisa semakin berhasil. Jepang semakin terdesak oleh Sekutu, Jepang terpaksa lebih mendakati pada rakyat Indonesia yaitu menyanyikan kemerdekaan, apabila rakyat Indonesia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu/Amerika, Britisch, China, dan Dutch.
Kalau dicermati dengan sungguh-sungguh perjuangan para guru pad masa penjajahan Jepang, maka para guru berjuang sangat hati-hati menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Kadang-kadang non koperasi, kadang-kadang koperasi, kadang-kadang legal, dan kadang-kadang illegal.
Daftar Pustaka
1.      Hadiatmaja, R.A. Soepardi, 2000. Pendidikan Sejarah Perjuangan PGRI,
2.       http://deeuncha.blogspot.co.id/2013/04/perjuangan-guru-dimasa-penjajahan-dan.html. Diakses pada tanggal 06 Maret 2016.
3.      https://agung0012.wordpress.com/2016/05/26/sejarah-pgri-sebelum-kemerdekaan/

Komentar